Sabtu, 02 Maret 2013

TANA TORAJA

Konon, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan “tangga dari langit” untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa).

Lain lagi versi dari DR. C. CYRUT seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk (lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo Cina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut.

Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dan dari luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.

Sejarah Aluk

Konon manusia yang turun ke bumi, telah dibekali dengan aturan keagamaan yang disebut aluk. Aluk merupakan aturan keagamaan yang menjadi sumber dari budaya dan pandangan hidup leluhur suku Toraja yang mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan pola-pola tingkah laku hidup dan ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang Matua.

Cerita tentang perkembangan dan penyebaran Aluk terjadi dalam lima tahap, yakni: Tipamulanna Aluk ditampa dao langi’ yakni permulaan penciptaan Aluk diatas langit, Mendemme’ di kapadanganna yakni Aluk diturunkan kebumi oleh Puang Buru Langi’ dirura.
Kedua tahapan ini lebih merupakan mitos. Dalam penelitian pada hakekatnya aluk merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa kaum imigran dari dataran Indo Cina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi.

Beberapa Tokoh penting daiam penyebaran aluk, antara lain: Tomanurun Tambora Langi’ adalah pembawa aluk Sabda Saratu’ yang mengikat penganutnya dalam daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna.

Selain daripada itu terdapat Aluk Sanda Pitunna disebarluaskan oleh tiga tokoh, yaitu : Pongkapadang bersama Burake Tattiu’ menuju bagian barat Tana Toraja yakni ke Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga, derngan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja “To Unnirui’ suke pa’pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata sosial yang tidak mengenal strata. Kemudian Pasontik bersama Burake Tambolang menuju ke daerah-daerah sebelah
timur Tana Toraja, yaitu daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta’bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : “To Unnirui’ suku dibonga, To unkandei kandean pindan”, yaitu pranata sosial yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.
Tangdilino bersama Burake Tangngana ke daerah bagian tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial “To unniru’i suke dibonga, To ungkandei kandean pindan”, Tangdilino diketahui menikah dua kali, yaitu dengan Buen Manik, perkawinan ini membuahkan delapan anak. Perkawinan Tangdilino dengan Salle Bi’ti dari Makale membuahkan seorang anak. Kesembilan anak Tangdilino tersebar keberbagai daerah, yaitu Pabane menuju Kesu’, Parange menuju Buntao’, Pasontik ke Pantilang, Pote’Malla ke Rongkong (Luwu), Bobolangi menuju Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga, Bue ke daerah Duri, Bangkudu Ma’dandan ke Bala (Mangkendek), Sirrang ke Dangle.

Itulah yang membuat seluruh Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo diikat oleh salah satu aturan yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo arti harfiahnya adalah “Negri yang bulat seperti bulan dan
Matahari”. Nama ini mempunyai latar belakang yang bermakna, persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja tidak pernah diperintah oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku adat dan ada sekitar 32 pemangku adat di Toraja.

Karena perserikatan dan kesatuan kelompok adat tersebut, maka diberilah nama perserikatan bundar atau bulat yang terikat dalam satu pandangan hidup dan keyakinan sebagai pengikat seluruh daerah dan kelompok adat tersebut



SUMBER : http://titusbercerita.blogspot.com/2011/11/asal-mula-tana-toraja.html

ARIAN TRADISIONAL

Tari Pa’gellu

Tarian ini biasanya dibawakan oleh remaja (biasanya gadis), selama perayaan ucapan syukur, seperti pernikahan, panen, dan untuk menyambut tamu-tamu pada upacara formal. Para gadis menggunakan aksesoris yang terbuat dari emas dan perak dan terdapat dua atau empat remaja laki-laki yang memainkan genderang untuk mengiringi tarian.

Klik di sini untuk menyaksikan Tari Pa’gellu: www.youtube.com



Bone Balla’ or Ondo Samalele

Para wanita dan remaja perempuan dari sebuah keluarga besar, yang baru saja menyelesaikan pembangunan Tongkonan mereka, menyajikan tarian ini untuk menunjukan rasa syukur mereka. Tarian ini diiringi oleh lagu yang disebut “Passengo”, sebuah musik untuk memuji Tuhan. Pada bagian akhir tarian, semua anggota keluarga ikut ambil bagian dalam tarian.

MUSIK TRADISIONAL

Passuling

Ini merupakan seruling tradisional Toraja, yang juga dikenal dengan nama “Suling Lembang”. Seruling dimainkan oleh kelompok laki-laki untuk mengiringi “Pa’Marakka” atau lagu duka yang dinyanyikan oleh para wanita. Mereka membawakan seni tradisional ini untuk menyambut tamu, yang hadir untuk menyampaikan rasa duka mereka kepada keluarga yang sedang berduka.

Pa’pelle/Pa’barrung

Sebuah alat musik yang terlihat seperti terompet, terbuat dari jerami yang dirakit dengan daun kelapa. Biasanya dimainkan selama upacara pengucapan syukur setelah menyelesaikan pembangunan rumah Tongkonan.

Pa’pompang/Pa’bas

Pa’pompang merupakan sebuah orkestra bambu yang dimainkan oleh murid yunior selama upacara nasional, seperti Hari Kemerdekaan, ulang tahun kota, dan festival nasional. Para murid memainkan lagu-lagu kontemporer, lagu daerah, dan lagu gereja.

Pa’tulali

Sebuah alat musik bambu berukuran kecil yang dimainkan dengan cara ditiup untuk menghasilkan suara yang indah.

Pa’geso’geso’

Sebuah alat musik yang terbuat dari kayu dan batok kelapa dengan senar.

UPACARA TRADISIONAL

Di kebudayaan Toraja, babi dan kerbau adalah hewan-hewan utama untuk dikorbankan pada setiap upacara, terutama Rambu Solo atau upacara pemakaman Toraja dan Rambu Tuka atau upacara pengucapan syukur Toraja. Sebagai hewan yang istimewa, harga kerbau di Toraja bisa sangat mahal dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Satu kerbau “putih” besar harganya bisa mencapai sepuluh juta rupiah.

Rambu Tuka (Upacara Pengucapan Syukur)

Ini adalah upacara tradisional yang diadakan oleh sebuah keluarga atau bahkan seluruh desa. Biasanya disertai dengan mengorbankan ayam, babi atau kerbau untuk menunjukan rasa syukur kepada Tuhan atas musim panen atau “Tongkonan” baru.

Sebagai bagian dari upacara, tari Manimbong akan dibawakan oleh laki-laki yang memakai pakaian tradisional khusus yang disebut “Baju Pokko” dan “Seppa Tallu Buku”, yang dihiasi dengan parang kuno.


Rambu Solo (Upacara Pemakaman)

“Rambu Solo” merupakan upacara pemakaman terbesar di Tana Toraja yang diadakan oleh keluarga duka. Keluarga harus mempersembahkan banyak kerbau besar, babi, dan binatang lain pada upacara ini, tergantung pada status sosial dari keluarga duka. Biasanya upacara ini menjadi daya tarik yang cukup besar bagi para wisatawan.

Dipengaruhi oleh kepercayaan setempat, yaitu “Aluk Todolo”, orang Toraja percaya bahwa hal buruk mungkin terjadi jika keluarga yang ditinggalkan tidak mengadakan upacara, tetapi saat ini banyak keluarga melakukan Rambu Solo ini sebagai bagian dari tradisi mereka.

Upacara Rambu Solo terdiri dari beberapa jenis, yaitu “Disilli”, yaitu upacara pemakaman untuk anak-anak atau balita dengan mengorbankan satu ekor babi saja; “Dipasangbongi”, yaitu upacara pemakaman untuk remaja dan orang dewasa dari kelas terendah, yang biasanya berlangsung semalman dengan mengorbankan satu kerbau dan empat babi; “Dipatallung Bongi”, yaitu upacara pemakaman untuk kelas menengah yang dilakukan selama tiga malam dengan mengorbankan empat kerbau dan banyak babi; “Dipapitung Bongi”, yaitu upacara pemakaman selama tujuh hari untuk kelas paling tinggi dengan mengorbankan banyak kerbau dan babi; dan “Dirapai”, yaitu upacara pemakaman termewah untuk kelas sosial paling tinggi yang berlangsung selama lebih dari satu tahun dan membutuhkan sekitar 24 kerbau dan ratusan babi besar untuk dikorbankan.

Di bawah ini adalah beberapa ritual yang menjadi bagian dari upacara ini.


Ma’pasilaga Tedong

Ini adalah adu kerbau air atau dikenal sebagai "Ma'pasilaga Tedong ". Adu kerbau adalah salah satu bagian hiburan pada upacara pemakaman. Berbeda dengan banteng di Spanyol yang dilakukan antara matador dengan seekor, banteng, adu kerbau di Toraja ini hanya dilakukan oleh dua ekor kerbau saja.



Sisemba

Ini adalah sebuah "pertunjukkan" dari sekelompok laki-laki atau anak laki-laki yang mencoba memukul atau menendang kaki lawan hanya dengan menggunakan kaki mereka, sehingga terlihat seperti sedang berperang. "Perkelahian" ini dianggap sebagai sebuah permainan yang adil, karena tidak pernah "menyerang" seseorang yang berada di tanah sambil mengangkat tangannya.

Bagi mereka yang tidak terbiasa dengan budaya semacam ini, ini dapat dilihat sebagai pertandingan keras. Sama seperti beberapa orang yang tidak suka tinju atau permainan kasar lain karena alasan yang sama. Namun, pertunjukkan tradisional ini menjadi hal yang langka untuk dilihat saat ini.



Ma’tinggoro Tedong / Pembantaian Kerbau

Sebuah tradisi di mana seorang pria menebas leher kerbau yang sudah ditambatkan pada sebuah batu besar dengan golok tajam. Ini adalah prosesi akhir dari ritual "Rambu Solo".

Untuk sebagian orang, prosesi ini dapat dilihat sebagai suatu tindakan kejam, namun untuk sebagian orang lagi mungkin saja mereka melihatnya dari perspektif yang berbeda, seperti dari sudut pandang budaya dan sebagainya. Sama seperti di negara lain, beberapa orang bisa menerima konsep adu banteng (antara manusia dan banteng = "matador") tetapi ada juga yang tidak dapat menerimanya. 


Sumber :  http://www.jotravelguide.com/toraja/kesenian_daerah_toraja.php

Tidak ada komentar:

Posting Komentar